PENYAKIT MAHASISWA 
( BAGIAN SATU ) 

Tulisan ini merupakan keresahan pribadi yang saya rasakan ketika insomnia menyerang, ketimbang melawan otak yang tak henti hentinya bekerja untuk tertidur secara paksa, barangkali menulis adalah hal yang sedikit produktif yang saya lakukan tepat pukul 2 lebih 48 menit dini hari. Saya harap kamu dapat membaca tulisan sederhana ini sampai selesai, ini akan menjadi bahan refleksi kita bersama. Dengan bangganya kamu menyuarakan bahwa mahasiswa itu adalah Agent of change, Agen of sosial Control, atau sebagai Iron Stock. Hal yang selalu disuarakan oleh setiap yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa. Gairah pergerakan juga perjuangan pada awal memasuki dunia kampus sangat begitu terasa, tak lupa dengan teriakannya “Hidup Mahasiswa!”, entah secara sadar atau hanya mengikuti euforia yang ada, atau mungkin kita hanya sebatas “ sebut saja tim hore “. Namun sayang. Nikmatnya Nilai, tugas yang bertubi dan kebutuhan materi yang telah terpenuhi, mengalahkan itu semua.

TIPOLOGI MAHASISWA 

Sudah bosankah kita membahas peran dan fungsi mahasiswa secara teoritis?, atau jangan jangan kita belum tahu, atau memang tidak ingin tahu?, kemungkinan besar kita hanya terjebak dalam romantisme kampus yang selalu membelenggu pikiran dan membuat kita nyaman tertidur dalam bulu – bulu halus kekuasaan, sehingga tak dapat keluar dari labirin yang dikonstruk para penguasa yang akhirnya menyendat pola pikir dan membatasi ruang gerak setiap individu mahasiswa. Barangkali kita pernah mendengar istilah tipologi mahasiswa yang diantaranya adalah Mahasiswa Apatis, Hedonis, dan Aktivis. Kita tidak akan bahas satu persatu secara definitif, jika kamu adalah seorang mahasiswa, silahkan maknai sendiri. Ketiga tipe mahasiswa tersebut menurutku sampai sekarang masih saja terjebak dalam labirin kampus, baik itu dalam ranah akademik, organisasi atau kelompok lainya, dan hanya sebagian kecil yang dapat keluar dari labirin itu, yaitu mereka yang benar benar mempunyai kesadaran Fundamental. Sebenarnya hal tersebut tidak terlepas dari rekam jejak sejarah Pergerakan Mahasiswa Pasca era Soekarno, pada era rezim Soeharto mahasiswa dibatasi ruang geraknya, yang kemudian dicanangkan melalui kebijakan Mendikbud dengan narasi Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) “Back to Campus”, kebijakan ini menyasar pada aktivitas mahasiswa yang difokuskan hanya mengrusi persoalan Ditulis Oleh : Jaelan Soheh akademik saja. Kendati demikian, kebijakan tersebut dicabut pada tahun 1990, namun dicabutnya kebijakan tersebut tetap saja membentengi mahasiswa secara gerakan dengan dibuatnya sistem Organisasi Internal Kampus. Di era Reformasi ini nampaknya roh dari kebijakan NKK tersebut masih melekat pada setiap individu mahasiswa disetiap perguruan tinggi. Sekilas, hal tersebut mungkin bukan sebuah masalah, dan kita tak perlu membahas hal – hal tersebut, karena jajan di MCD akan lebih asyik ketimbang memikirkan hal yang akan membuat pusing otak kiri, atau Ngopi di Starbuck akan lebih enak ketimbang ngopi bersama petani, mungkin juga ikut organisasi intra kampus akan lebih baik agar tak dicap sebagai mahasiswa kupu-kupu, atau mungkin diam saja adalah cara terbaik untuk lepas dari sebuah masalah. Sungguh miris jika melihat kepura-puraan semacam itu.

SUPERIORITAS

Daerah, merupakan penyuplai peserta didik terbesar di setiap perguruan tinggi. Minat menempuh pendidikan yang relatif tinggi, sehingga tak sedikit putra/putri daerah dari skala kabupaten sampai ke pelosok-pelosok desa. Tak sedikit pula putra putri dari Desa yang menempuh pendidikan tinggi di kampus – kampus ternama di indonesia, baik swasta maupun negeri. Status mahasiswa menjadi spesial dikalangan masyarakat desa, harapan demi harapan mulai tumbuh dari masyarakat, berharap putra-putrinya akan membangun dan mengembangkan daerahnya dari segala aspek kehidupan, agar terciptanya kesejahteraan sosial di masyarakat. Namun naas, harapan itu hanya angan angan semata. Pada realitanya, egoistis karena status (mahasiswa) yang sedang dijlaninya menjadikan mereka bersikap apatis terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya dan bahkan tak mau melebur dan bersentuhan dengan masyarakat setempat yang hanya berlatarbelakang lebih rendah pendidikanya seperti buruh, petani dan sebagainya. Keliru memang, jika hal itu terjadi pada dirimu, yang lebih parah, ketika status Mahasiswa tersebut menjadi kelas sosial baru di masyarakat, sehingga timbul superioritas diantara masyarakat . Jika melihat hal tersebut, aku teringat dengan apa yang dikatan Tan malaka, bahwa sebaiknya Pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. “ Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang hanya bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali ” ( Tan Malaka )

Penulis : @zayzelan