Sungguh Aku Yang Sakit, Mereka Yang Sehat - Beropini

Sungguh ingin ku nikmati semuanya, tapi tanganku hanya dua, begitu juga kaki. Aku tak bisa mengeluh dengan semua keadaan, keluhan hanya penderitaan, gila adalah kesempatan yang ingin ku cari, dengan itu semuanya jadi lega. Hati organ paling rapuh, dia perasa yang menaburkan cinta, sayang, dan kasihan, percayalah dia adalah bentuk yang paling dipercaya. Aku yang senyum adalah wajahku yang bertopeng, bukan untuk menutupi, tapi hanya untuk menebar kebahagiaan buatku dan mereka.

Senja selalu berkata bahwa hitam sungguh mempesona, kalau kau tak percaya coba, dia tidak mau berganti dengan siang, apalagi berganti dengan malam, karena siang terlalu jauh, malam tak bisa dia lihat, senja berada disisinya hanya untuk melihatnya. Dan menurutnya menjadi senja juga cukup membahagiakan orang.

Cukup sisi keduaku yang mengalami dilema raga yang sakit, tapi topengku tidak perlu merasakannya. Hal itu dapat menimbulkan kekacauan. Aku yang bodoh ini adalah aku yang ingin selalu begitu, karena tanpa si bodoh aku hanya orang yang tak tahu apa-apa, makanya aku menolak menjadi orang pintar. Menjadi aku sungguh menguras tenaga tapi menjadi mereka begita gampang, kenapa ini bisa terjadi? Apakah terlalu egiois, untuk menjadi aku?

Ragaku sekarang merasakan sakit, di kasur dengan selimut di pangkuanku, sungguh kenikmatan yang luar biasa dari tuhan, tapi kenapa rasa bersyukur itu tak ku terima? Ini hal yang jarang terjadi, tuhan tidak akan memberikan sakit ini kepada siapa saja, tapi kenapa ini tak bisa ku terima? Segelas air menghangatkan dahaga, dia berkata aku lapar, air tidak cukup melepaskan semua lapar itu, walaupun di sekitar ada nasi, tahu, tempe yang melambai, sungguh aku yang serakah.

Dahagaku merasa pintar, telah kumasukan yang renyah-renyah dan gampang sekali di kunyah, apakah itu cukup? Ternyata tidak cukup, aku yang serakah ini memang perlu menjadi orang bodoh. Sampai akhirnya aku bisa menerima semua itu. Menjadi aku yang tak pilih-pilih lagi.